Mereka Terpaksa di Emperan

  • Kompas: Senin, 29 Desember 1997, halaman 10

GERIMIS turun saat berlangsungnya acara Malam Puisi Akhir Tahun di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu (27/12) malam lalu. Puluhan pengunjung yang duduk bersila di halaman menghadap panggung di depan gedung Graha Bhakti Budaya tadinya masih bertahan, meski bahu mulai basah.

Dalam gerimis, penyair Suparwan G Parikesit meneriakkan puisinya. Turunkan harga/ tiga puluh tahun kemudian/ harga tak pernah turun…// Perbaiki kabinet/ dari tahun ke tahun/ kabinet bertambah/ kabinet berganti/ tapi pimpinan kabinet/ tak pernah berubah// Bubarkan PKI// …PKI merajalela// Perampok Kekayaan Indonesia//.

Puisi Tritura serta dua puisi lainnya, Seperti Nama Seribu Bunga dan Suksesi, dibacakan Suparwan malam itu.

Kegiatan ini diprakarsai oleh Bengkel Deklamasi bekerja sama dengan Pusat Kesenian Jakarta TIM (PKJ-TIM), menghadirkan penyair-penyair seperti Hamid Jabbar, Aspar Paturusi, Agus Jurtatap, Pertikaian Agung, Hj Baenar, Diah Hadaning, Yusuf Susilo Hartono, Ivonne de Fretes, Salahuddin Al-Ayyubi, Lastri Fardani Sukarton, Wowok Hesti Prabowo, Jose Rizal Manua, serta kelompok Teater Tropis, Teater Timur Jauh, Al-Insyaf, dan Deavies Sanggar Matahari.

Puisi-puisi yang dibacakan malam itu temanya beragam, mulai dari kritik sosial, tentang ibu, hingga syair-syair bernuansa religius. Ragam tema yang ditampilkan tepat betul dengan suasana saat ini, di mana baru saja diperingati Hari Ibu dan sebentar lagi umat Islam akan memasuki bulan Ramadhan.

Nuansa religius terasa dalam musikalisasi puisi karya Apip Mustofa yang dibawakan Deavies Sanggar Matahari dalam suasana khidmat. Tuhan telah menegurmu/ dengan cukup sopan/ lewat perut anak-anak yang kepalaran// Tuhan telah menegurmu/ dengan cukup sopan/ lewat sayup suara azan…// Atau Salahuddin Al-Ayyubi dalam Takbir Rindu.

***

BARU sekitar 25 menit acara berlangsung, gerimis yang tadinya ramah berubah menjadi hujan. Kontan panitia sibuk memindahkan peralatan ke emperan gedung Graha Bhakti Budaya. Jose Rizal Manua, koordinator pelaksana acara, menyambar mikrofon, dan menyampaikan kepada hadirin untuk pindah ke tempat yang teduh. “Kita coba pindah ke koridor Graha Bhakti. Mohon maaf, kami harus mempersiapkan dulu panggungnya,” katanya.

Di emperan Graha Bhakti yang lebarnya hanya sekitar enam meter, pengunjung berjejal, berbaur dengan para penjual buku dan majalah. Sebuah level diletakkan tepat di depan Galeri Buku Bengkel Deklamasi. Pembacaan puisi dilanjutkan. Hujan semakin deras, penonton yang berdiri di tepi koridor kena tempias air hujan

“Malam ini saya protes kepada Dewan Kesenian Jakarta. Mengapa acara kesenian seperti ini semakin terpinggirkan,” kata Suparwan. Mungkin maksudnya, mengapa mereka tidak bisa mendapat tempat yang layak. Misalnya diberi kesempatan pentas di dalam gedung.

Pentas di dalam gedung seperti Graha Bhakti Budaya konsekuensinya mesti mengeluarkan biaya. Sewa gedungnya minimal enam juta rupiah semalam. “Saya tidak akan mampu membayar sebesar itu. Untuk acara malam puisi ini saja saya tidak punya biaya sesen pun,” ujar Jose.

Ia mengaku hanya mengeluarkan beberapa ribu rupiah untuk membeli kertas koran bekas buat alas duduk dan beberapa gelas minuman kemasan. Menyinggung mengenai bantuan PKJ dalam acara itu, Jose mengatakan, PKJ hanya menyiapkan tempat, sound system, dan lighting.

Selama ini, dengan keterbatasan dana dan keinginan yang menggebu-gebu mengadakan pembacaan puisi atau pementasan kesenian, Jose terpaksa melakukan pendekatan dengan penyair dengan pendekatan silaturahmi. “Kalau bukan dengan pendekatan silaturahmi, mana mampu saya membayar Rendra atau Iwan Fals untuk tampil beberapa waktu lalu,” katanya.

Lebih dari itu, antusiasme para seniman itu barangkali semacam katarsis dari keadaan yang sangat represif sekarang. Dunia kesenian yang di dalamnya terdapat pengandaian adanya kebebasan, menjadi satu-satunya wilayah untuk memelihara kebebasan itu.

Meskipun, itu memang hanya sebuah pengandaian. Soalnya, di “rumahnya sendiri” seperti di TIM pun, mereka harus menyelenggarakan acaranya di halaman dan kemudian di emperan gedung ketika hujan mengguyur. (lam)

Leave a comment