“Mirah dari Banda” Terbit Kembali

  • Kompas: Selasa, 3 Februari 2004, halaman 9 

JAKARTA, KOMPAS – Novel Mirah dari Banda karya Hanna Rambe, yang pernah diterbitkan UI Press pada tahun 1986, diterbitkan kembali oleh Indonesia Tera.

Novel sosio-drama, yang juga akan diterbitkan dalam versi bahasa Inggris oleh The Lontar Foundation (Yayasan Lontar), diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta, Sabtu (31/1).

Mirah dari Banda mengambil latar cerita di Pulau Banda, dan memaparkan sisi gelap tragedi kemanusiaan pada masa penjajahan. Banda sengaja dipilih oleh Hanna karena pulau elok itu menyimpan fakta sejarah tentang perkebunan pala terbaik pada masa lalu, sekaligus tempat perbudakan pada zaman penjajahan Belanda hingga Jepang.

Dalam novel ini digambarkan tentang fenomena kebiadaban penjajah yang menyisakan luka mendalam bagi generasi yang mengalami masa penjajahan tersebut. Ia mengingatkan betapa kuli kontrak oleh Belanda, kuli kerja paksa oleh Jepang (romusha), banyaknya perempuan Indonesia yang secara paksa dijadikan penghibur bagi tentara Jepang (jugun ianfu), atau simpanan Tuan Belanda (nyai) menjadi kenyataan pahit yang terpaksa dialami bangsa ini.

Banda sengaja dipilih oleh Hanna karena pulau elok itu menyimpan fakta sejarah tentang perkebunan pala terbaik pada masa lalu, sekaligus tempat perbudakan pada zaman penjajahan Belanda hingga Jepang.

“Saya memang bermaksud mengungkapkan kepada dunia tentang perbudakan, tentang jugun ianfu. Memang jugun ianfu banyak di Indonesia, tetapi kok enggak ada yang memperhatikan, enggak ada yang membela. Sebagai seorang penulis, saya hanya mampu melakukannya lewat novel,” papar Hanna.

Gambaran tentang situasi masa lalu Pulau Banda diperoleh Hanna bukan hanya dengan beberapa kali mengunjungi pulau itu. Hanna juga melakukan riset pada sejumlah perpustakaan di Belanda.

Pengarang Gerson Poyk mengategorikan Mirah dari Banda sebagai novel sejarah. “Cerita ini berlangsung dalam satu semangat ekses absolut penjajahan. Ini bukan novel akhirat, juga bukan novel aurat yang imajinasinya menjadi bagian dari libido,” kata Gerson Poyk.

Berikutnya: cengkeh

Hanna Rambe, yang lahir di Jakarta pada 23 November 1940, menghasilkan berbagai karya yang telah diterbitkan. Di antaranya, Terhempas Prahara ke Pasifik, Seorang Lelaki di Waimital, Mencari Makna Hidupku (Biografi Ibu Suyatin Kartowijono, Tokoh Emansipasi Hak Perempuan dari 1928), Pelayaran Cadik Nusantara, dan sebuah novel ekologi tentang kehidupan gajah di hutan-hutan Sumatera, Pertarungan.

Mantan jurnalis Sinar Harapan ini sedang menyiapkan sebuah novel tentang fenomena di perkebunan cengkeh. “Kita suka membangga- banggakan betapa subur dan kayanya alam Indonesia. Akan tetapi, kita tidak pernah merenungkan tentang pala, cengkeh, dan rempah-rempah lainnya, sekian ratus tahun diperdagangkan oleh orang-orang Belanda, Arab, dan Cina,” tuturnya. “Saya ingin mengajak untuk mencintai negeri yang kaya ini. Jangan jadi maling.” (LAM)