Harga Telur Naik, Sidrap Tumpuannya

  • Kompas: Senin, 5 Feb 1996, halaman 15

MEMASUKI minggu kedua bulan puasa, harga bahan pangan di Ujungpandang mulai merambat naik. Di antara yang mengalami kenaikan harga adalah telur ayam ras yang naik hingga 75 persen. Menjelang lebaran mendatang, kenaikan diperkirakan 100 persen dari harga sebelum puasa. Akhir Januari lalu telur ayam ras dijual di pasaran dengan harga Rp 2.000-2.500 per kg. Harga sekarang Rp 3.400 per kg. Di Makassar Mall hari Jumat (2/2), bahkan Rp 3.500 per kg.

Ahmad, salah seorang pedagang mengakui, terpaksa menaikkan harga telur ayam ras, karena harga pengecer pun meningkat tajam.

“Menurut pengecer telur langganan saya, permintaan selama bulan puasa meningkat terus, sehingga persediaan menjadi terbatas. Biasanya saya mendapat jatah sampai 2.000 rak per minggu, sekarang hanya diberi 100 rak,” jelasnya.

Ia menambahkan, pengecer langganannya yang berasal dari Kabupaten Sidrap (Sidenreng Rapang) –188 km utara Ujungpandang– mengatakan, permintaan yang meningkat drastis itu karena adanya permintaan dari luar Sulsel. “Banyak pedagang antarpulau yang langsung membeli telur di Sidrap. Akibatnya, jatah untuk pedagang telur di Ujungpandang terbatas,” tutur Ahmad.

***

SIDRAP memang dikenal sebagai produsen telur untuk Sulsel. Begitu memasuki Desa Tanete, Anda akan disambut bau menyengat dari kandang-kandang ayam yang berbaur dengan bau lumpur sawah yang baru saja dibajak.

Desa yang terletak sekitar lima kilometer arah selatan Pangkajene, ibu kota Sidrap, merupakan daerah peternakan ayam ras terbesar di Sulsel, malah dengan ayam yang jutaan ekor, kemungkinan besar terbesar di seluruh kawasan timur Indonesia.

Peternakan ayam ras di Sidrap sebenarnya sudah mulai tumbuh sejak tahun 1977, tetapi masih dilakukan sebagai pekerjaan sambilan. Uniknya, usaha peternakan ayam ini sangat diminati masyarakat meski mengalami pasang surut.

Sebutlah, misalnya, tahun 1982 wabah penyakit ayam melanda Sidrap, yang membuat ratusan peternak surut. Tiga tahun kemudian mereka bangkit lagi, dan kembali mengalami kelesuan pada tahun 1987.

Memasuki tahun 1990-1995 Sidrap booming ternak ayam. Tahun 1991 misalnya, populasi ternak ayam sudah mencapai 1.135.000 ekor. Pada akhir tahun 1995 sekitar 1.500 orang memilih pekerjaan sebagai peternak ayam. Populasinya sudah di atas dua juta ekor, dengan total produksi 800.000 butir telur per hari.

“Menurut hitungan di atas kertas, bisnis peternakan ayam memang menggiurkan. Itulah sebabnya banyak orang yang tertarik beternak ayam. Tetapi mereka jadi lupa bahwa risikonya juga cukup tinggi,” kata H Mallawi (61), yang mulai beternak ayam sejak tahun 1985.

Ia memiliki sekitar 60.000 ekor ayam, belum termasuk yang dipelihara belasan anggotanya. Tiap anggota diberi 1.000 hingga 3.000 ekor ayam. Ia mempekerjakan 40 orang tenaga yang mengurusi segala tetek bengek ayam, mulai dari pemberian makan sampai pengumpulan telur dan perawatan kandang. Setiap pekerja diberi gaji Rp 100.000 per bulan ditambah 20 kilogram beras.

Beternak ayam merupakan pekerjaan yang gampang-gampang susah. Ia mencontohkan harga pakan dan harga telur yang bisa berubah tiap hari bergantung pada permintaan pasar.

Kendala yang dihadapi peternak selain harga telur yang tidak menentu adalah pasokan pakan yang sangat terbatas. Konsentrat sebagai bahan baku utama pakan ayam, masih didatangkan dari Jawa. Begitu pula dengan jagung dan dedak yang masih didatangkan dari daerah penghasil beras lainnya, seperti Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo, dan Pinrang. Harga dedak dan jagung juga berfluktuasi. (tt/zz)