Kursi dan Seni Rupa Penyadaran

  • Kompas: Senin, 5 Januari 1998, halaman 10
Moelyono (Kompas/arb)

SANGAT sedikit perupa yang (mau) melibatkan diri secara langsung dengan kehidupan masyarakat pinggiran. Moelyono adalah salah satu di antara yang sedikit itu. Kenyataan ini terlihat dari karya-karyanya yang sangat akrab dengan suasana desa atau masyarakat pinggiran.

Dalam pameran seni rupa tunggalnya di Galeri Lontar, Jakarta, (berlangsung hingga 15 Januari 1998), ia menyajikan tema yang secara tegas memperlihatkan kedekatannya dengan komunitas masyarakat pedesaan. Sebanyak 38 gambar karya Moelyono yang dipamerkan, digarap dengan menggunakan charcoal atau arang di atas kertas.

Realitas pedesaan digambarkan apa adanya, seperti misalnya obyeknya yang ditampilkan mengenakan pantalon dengan kopiah atau berkain sarung untuk pria, sedang wanitanya mengenakan kebaya dan kain sarung. Benda-benda sehari-hari yang sangat akrab dengan masyarakat di pedesaan yang sering dihadirkan adalah kursi kayu dan lampu petromaks, serta pacul dan caping.

Karya perupa yang juga dikenal sebagai penulis, menunjukkan ia adalah seniman yang banyak melibatkan diri dengan kehidupan masyarakat pinggir. Memandangi obyek-obyek gambarnya seolah membawa kita menelusuri desa-desa dan bertemu dengan manusia-manusia desa. Beberapa gambarnya, yang sangat gamblang melukiskan suasana pedesaan, misalnya Rawuhan, Wayang Wong, Swara Kurang Mahardiko, Ngematke Siaran Radio BBC, Menduduki Kursi RT, dan Buruh Rungkut, Makan Siang.

KURSI – Nyunggi Kursi (60 x 80 cm), salah satu karya seni rupa gambar Moelyono, yang dipamerkan di Galeri Lontar, Jakarta, sampai 15 Januari 1998. Di antara 38 karya gambar yang menyajikan realitas pedesaan, Moelyono menampilkan sejumlah gambar dengan obyek kursi kayu. (Ist)

Obyek yang paling sering ditonjolkan pada gambar-gambarnya adalah kursi kayu. Sepintas, tidak ada yang istimewa dengan kursi-kursi kayu dengan seseorang yang duduk atau berada di dekatnya, seperti dalam Ider Kursi (seorang wanita menggendong sebuah kursi), Nyunggi Kursi (seorang lelaki menjunjung kursi), Sumeleh (seorang wanita tertidur dengan kepala disandarkan pada kursi), Ojo Dumeh (seorang wanita duduk pada sandaran kursi sambil berkacak pinggang, dan tangan yang satunya ditumpangkan pada kursi yang lain), Ojo Gumun (seorang wanita duduk sambil bertopang dagu memandangi dua buah kursi), atau Ojo Gelo (seorang wanita yang duduk bersandar sambil menatap sebuah kursi). Namun, secara semiotis, kursi adalah sebuah simbol dari kekuasaan.

***

DALAM berkas pengantar pameran, Moelyono mengungkapkan, sejak masih mahasiswa sikap keseniannya didasari oleh realitas kemiskinan, lingkungan kawan-kawannya di Gampingan, tinggal bersama rakyat bawah, dan desakan dominasi karya lukisan yang eksotis.

Perupa kontemporer ini memang sering terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat pinggir, dan bahkan berkarya bersama-sama. Moelyono yakin, bahwa setiap orang adalah subyek yang sama kreatifnya dengan seniman.

Dengan keyakinan itu Moelyono membangkitkan semangat berkesenian baru bersama komunitas masyarakat pedesaan. Seni rupa yang berpihak pada masyarakat pinggiran, golongan kebanyakan yang seringkali menjadi korban modernisme, disebutnya sebagai seni rupa penyadaran.

“Seni rupa penyadaran mendasarkan dirinya dengan mendudukkan rakyat sebagai subyek, sebagai pencipta kebudayaan, bukan sebagai konsumen kebudayaan yang pasif,” kata Moelyono, seperti tertulis dalam buku kumpulan tulisannya, Seni Rupa Penyadaran (1997).

Sebagai pencipta kebudayaan, lanjut Moelyono, rakyat memiliki potensi dan hak guna menguasai seni rupa sebagai media yang nonjenjang, nonhierarkis, dan sepenuhnya dikuasai, dihidupi, dibutuhkan, dikembangkan, dikendalikan, oleh kepentingan rakyat bawah guna mengungkapkan aspirasi komunitas ke arah kemandirian, keadilan, dan demokratisasi. Tujuannya untuk memperbaiki nasib dan hak lewat kreasi kesenian.

Tahun 1986, ia memulai praksis seni rupa di Teluk Brumbun dan Nggerangan, Tulungagung Selatan, Jawa Timur. Di sana, setiap hari Minggu, ia membawa anak-anak SD bermain seni rupa, menggambar di pasir pantai, membuat patung pasir, menggambar dunia mimpi, kehidupan keseharian, hingga ke problem yang mereka hadapi sehari-hari.

Kemudian pada tahun 1987 hingga 1990, Moelyono merintis pameran keliling karya anak-anak nelayan dan petani dari Teluk Brumbun dan Nggerangan ke Tulungagung, Surabaya, Yogyakarta, Salatiga, Solo, dan Jakarta. Katanya, “dalam proses pameran itu ternyata terbangun semacam afiliasi segi tiga emas, antara seniman, aktivis mahasiswa, dan ilmuwan sosial atau budayawan.”

Moelyono yang lulusan tahun 1985 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, sering menggunakan idiom seni rupa instalasi. Karya instalasinya untuk memperingati seratusan hari meninggalnya Marsinah, ditutup pihak berwajib.

Pendiri Yayasan Seni Rupa Komunitas (YSRK) ini kerap diikutkan pada berbagai kegiatan bergengsi di luar negeri, seperti pameran seni rupa Atopic Sits di Tokyo, atau Current Art in Southeast Asia di Tokyo dan Hiroshima, Jepang. (lam)

Leave a comment